Pages

Kamis, 19 Agustus 2010

New Cerpen

Hello cerpen baru gw yang diminta sama kalian..so maaf ya kao ini jelek :)


DINDA
·      Dinda

        Namanya Rendy, Rendy Irawan Nugraha. Berkali-kali aku memperhatikannya sejak aku masuk ke sekolah ini. Tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang putih, senyumnya yang ramah dan tatapan matanya yang teduh melengkapi kekagumanku padanya. Aku kagum? Ya, aku kagum padanya, mengagumi segala apapun yang dimilikinya. Rendy menekuni ekskul fotography, ga jarang cewe-cewe SMA-ku menawarkan diri mereka untuk jadi objek foto Rendy. Dan Rendy ga pernah menolak permintaan mereka. Entahlah, cowo yang kukagumi itu selalu bersikap lembut kepada siapapun. Bahkan aku selalu berfikir bahwa hatinya terbuat dari kapas atau sutra.
          Aku memperhatikannya di bawah pohon akasia yang teduh di samping kelasku hari itu. Ya, ditempat ini lah aku selalu memperhatikan Rendy. Sambil berpura-pura membaca atau berpura-pura menekuni macbookku, aku diam-diam memperhatikannya yang sering memotret objek disekitar sekolah atau saat ia nongkrong bersama teman-teman ekskulnya. Saat ia lengah, aku memperhatikannya, menatapnya dalam. Saat ia mulai menyadari aku menatapnya, aku langsung mengalihkan tatapanku dan berpura-pura tidak tahu apa yang terjadi. Oh munafiknya aku pada diri sendiri. Aku terlalu malu bahkan takut mendekati Rendy. Siapa aku? Aku hanya seorang cewe pemalu yang ga mempunyai satu orang temanpun di sekolah ini. Orang-orang selalu memandang jijik terhadapku. Padahal penampilanku ga seburuk seperti orang kira. Penampilanku sama seperti remaja SMA pada umumnya, tapi sifatku yang pemalu dan cenderung takut membuatku ga punya teman satu pun kecuali keluargaku. Sejak kecil aku menderita Laliophobia atau pobhia berbicara, ditambah lagi aku mempunyai sifat pemalu.
          Kulihat Rendy tengah memotret seekor burung gereja kecil yang sedang bertengger di atas pohon akasia. Beberapa kali kulihat ia memutar lensa kameranya sebelum membidik burung berwarna coklat itu. Satu menit kemudian bel pertanda habisnya jam istirahat berbunyi. Aku buru-buru merapikan buku-bukuku dan membawanya kedalam pelukanku. Tapi tiba-tiba kakiku tersandung kaki kursi, dengan hitungan detik, aku sukses terjerembab saat itu juga.
          “Lo ga apa-apa?” Tanya seseorang yang membantuku berdiri.
Aku terdiam menatap wajah itu, wajah orang yang kukagumi. Itu Rendy, batinku. Buru-buru aku berdiri dan merapikan seragamku. Aku berlari saat itu juga.
          “Hey buku lo!” teriak Rendy.
Lariku semakin cepat dan ga memperhatikan Rendy lagi. Nafasku memburu. Aku ingin hari berhenti detik ini juga.

·      Rendy

        Dia selalu memperhatikan aku dari kejauhan, cewe berambut sebahu yang selalu dihiasi bando. Dia pikir, aku ga pernah menyadari tatapan malunya kepadaku. Dia salah, aku selalu menyadarinya. Namanya Dinda, dia teman satu angkatanku tapi kami berbeda kelas, setiap hari ia selalu duduk di bawah pohon akasia dan menekuni buku atau macbooknya. Aku ga tahu apakah dia benar-benar menekuni buku-bukunya atau hanya berpura-pura. Beberapa kali aku memergokinya sedang mencuri pandang kepadaku, berkali-kali juga ia mengalihkan pandangannya dariku jika aku menyadari pandangannya kepadaku.
          Siang itu, aku memperhatikan seekor burung gereja kecil yang sedang bertengger di atas pohon akasia yang banyak ditanam di pekarangan sekolahku. Saat aku sedang memutar-mutar lensa kameraku, satu menit kemudian bel pertanda masuk kelas berbunyi disusul dengan suara orang terjatuh. “BRUUUKKKK!!!!” suara itu terdengar cukup keras. Aku langsung mendekati cewe yang terjatuh itu. “Dinda” bisikku. Secepat kilat aku membantunya berdiri. Berharap mendengar suara cewe yang belum pernah kudengar suaranya itu. Ia belum menyadari aku yang membantunya berdiri jika aku ga bertanya tentang keadaanya.
          “Lo ga apa-apa?” tanyaku saat itu.
Ia terdiam, aku tersenyum saat itu juga. Sebentar lagi aku akan mendengar ia mengucapkan “terimakasih” kepadaku, Pikirku. Ternyata aku salah. Dinda pergi begitu melihat wajahku tanpa mengucapkan satu kata pun. Meskipun berkali-kali aku teriak, tapi dinda tetap berlari menjauhiku. Aku hanya mematung di tempatku berdiri dan menatap Dinda yang kian menjauh.

000

          Sejak hari itu, Dinda ga lagi memperhatikan aku. Apa dia membenciku?, aku membatin. Sekarang, aku yang berbalik memperhatikannya. Memperhatikan ia menekuni buku dan macbooknya di bawah akasia atau di perpustakaan sekolah. Sesekali ia kujadikan objek fotographyku. Perlahan-lahan aku mengumpulkan puluhan foto Dinda. Aku mengaguminya? Bukan, bukan hanya sekedar itu. Tapi aku mencintainya. Mencintai Dinda Ayu Azzahra.
Belakangan ku ketahui bahwa Dinda menderita Laliophobia. Yaitu phobia berbicara, belum kuketahui jelas apa penyebabnya, tapi aku prihatin dengan Dinda. Mungkin itu penyebabnya mengapa ia ga pernah punya teman dan orang-orang mencapnya kuper. Salahkah aku meminta Dinda jadi pacarku? Salahkah aku menyayanginya? Rasanya tidak. Baiklah, besok aku akan mengungkapkan perasaanku kepada Dinda. Dinda boleh menjawabnya hanya dengan anggukan kepala walaupun tanpa alasan.
Siang itu, sepulang sekolah. Aku menunggu Dinda di depan pintu kelasnya. Biasanya Dinda selalu pulang belakangan. Separah itukah phobia Dinda, pikirku. Aku benar-benar takut saat itu. Lebih takut saat aku dimarah oleh papa karena mengambil ekskul fotography. Dinda sedang memasuki buku-bukunya kedalam tas punggung berwarna biru itu. Aku memasuki ruang kelas yang sepi itu.
          “Hai” sapaku hati-hati.
Mata Dinda membulat, aku tahu, nafasnya pasti tercekat.
          “Aku ngagetin kamu?” tanyaku lagi. Tuhan, aku mulai ber aku-kamu dengan Dinda, fikirku. “Maaf, tapi aku pengen ngomong sesuatu sama kamu”
Dinda masih saja diam. Cewe ini rasanya lebih mirip dengan manekin daripada manusia.
          “Ini, buat kamu yang selalu memperhatikan aku” ucapku sambil memberikan satu tangkai bunga mawar berwarna merah kepadanya.
Bunga mawar itu tergantung di tanganku, sedikitpun Dinda ga menyentuhnya. Jika ia bisa berbicara, mungkin ia sudah teriak meminta diambil. Satu, dua, tiga, aku menghitung dalam hati. Dan bunga mawar itu diraih oleh dinda. Aku menghembuskan nafas lega.
          “Ini, buat permintaan maaf aku kemarin” satu tangkai bunga mawar lagi kuberikan kepada Dinda.
          “Ini, buat kamu yang selalu jadi objek fotographyku”
          “Ini, buat kamu yang bernama Dinda”
          “Ini, buat kamu yang aku kagumi” masing-masing satu tangkai bunga mawar kuberikan kepada Dinda.
          “Dan ini, lima bunga mawar yang mewakili kata CINTA” ucapku. “Aku menyukaimu Dinda” aku menarik nafas perlahan. “Maukah kamu jadi pacar aku?”
Dinda semakin mematung. Dia menundukkan kepalanya.
          “Kamu ga perlu jawab pertanyaan aku dengan suaramu. Kamu hanya perlu mengangguk atau menggeleng untuk menjawab semuanya” ucapku.
Dinda tersenyum, untuk pertama kalinya aku melihat senyum Dinda. Dinda cantik saat tersenyum, ga kalah cantik dengan Rere, sang model sekolah. Ia mengambil selembar kertas dari dalam tasnya dan menuliskan sebuah kalimat yang diberikan kepadaku.
“AKU AKAN MENJAWAB DENGAN SUARAKU, TUNGGU AKU JAM 4 SORE DI GERBANG SEKOLAH” itu kalimat yang ditullis Dinda untukku. Setelah memberikan itu, ia berlalu meninggalkanku sendiri diruang kelas.

000

          Jam empat sore di gerbang sekolah, aku menunggu Dinda. Aku menunggu Dinda dengan perasaan getir. Aku melirik jam tanganku. Jarum jam menunjukkan pukul lima sore, perasaanku berubah menjadi kesal. Apa Dinda mau mempermainkan aku saja?, tanyaku dalam hati. Aku benar-benar ga tau harus berbuat apa saat itu. Pikiranku kacau balau.
          Kuputuskan untuk menemui Dinda dirumahnya. Aku terlanjur mencintai Dinda. Aku ga akan mungkin terima jika Dinda hanya mempermainkan aku. Kuparkirkan motorku. Rumah Dinda tampak begitu ramai. Apa dirumah Dinda sedang diadakan pesta? Jadi dia ga bisa nemuin aku di gerbang sekolah?, pikirku. Dipagar rumah Dinda terpasang selembar bendera kuning, hal itu mengagetkanku. Astaga, ternyata keluarga Dinda ada yang meninggal, pikirku lagi. Kulihat orang lalu lalang memasuki rumah Dinda. Ku cegat salah satu diantara mereka.
          “Maaf bu, yang meninggal siapa ya?” tanyaku.
          “Oh, mas temannya Dinda ya?” ibu itu balik bertanya.
          “Iya, kenapa Dinda bu?” tanyaku lagi.
          “Dinda meninggal tadi sore jam empat ketabrak mobil di dekat sekolahnya”.
Aku tercekat. Tanpa basa basi aku langsung masuk kedalam rumah Dinda dan mendapati tubuhnya terselimut kain batik dan wajahnya tertutup selendang putih tersenyum manis dalam kedamaian. Aku mengidari pandanganku, kudapati sepuluh tangkai bunga mawar segar didalam sebuah vas kristal terpajang indah diatas meja ruang tamu Dinda.
          Selamat jaan Dinda, selamat jalan suara yang tak pernah aku dengar tapi sangat ku kenal.



MySpace

Tidak ada komentar: